Balairung Universitas Indonesia (UI)
Depok, Jawa Barat
11.42 WIB
Mahasiswa dari berbagai jurusan memenuhi gedung. Hari ini adalah hari wisuda bagi mahasiswa-mahasiswa tersebut. Saat mahasiswa-mahasiswa dari Fakultas Hukum menaiki podium untuk menerima ijazah sekaligus dinobatkan mendapat gelar S1, seorang mahasiswa terus melihat ke arah balkon dengan wajah cemas. Ia terus menatap seorang wanita yang baru saja menutup telponnya. Wanita itu menatap mahasiswa itu dan menggeleng.
Mahasiswa itu kembali menatap ke depan namun dengan wajah yang sedikit kesal.
"Katanya mau datang? Mana?" Kata mahasiswa itu di dalam hati.
"Satria Cahya Dharmawan!" seru MC memintanya untuk maju.
Mahasiswa bernama Satria itu segera maju mendekati rektor, menyalaminya, dan menundukkan kepala saat sang rektor memindahkan tali topi toganya. Lalu dia segera mendekati dekan fakultasnya dan segera menerima ijazahnya. Segera dia kembali ke kursinya dan kembali menengok ke arah wanita tadi lagi. Wanita itu sedang menelpon lagi namun dari raut wajahnya sambil terus melirik ke arah Satria, dia tidak berhasil menelpon orang yang dimaksud.
"Awas aja kau Mas Hendra..." Kata Satria di dalam hati.
---------------------------------------------
Taksi
Jalan Raya Depok - Jakarta
13.25 WIB
Dalam perjalanan, Satria masih kesal karena Hendra tidak datang diacara wisudanya. Wanita yang saat di Balairung UI terus diperhatikannya sekarang duduk di sampingnya.
"Maklumkan saja lah... Pekerjaan kakak mu itu bukan pekerjaan orang kebanyakan. Waktu kerjanya juga tidak bisa ditetapkan begitu saja." Kata wanita itu.
"Tapi bu, Mas Hendra udah janji sama Satria. Dia sendiri yang bilang kalau dia pasti bisa datang. Komandannya sudah memberi ijin dari seminggu yang lalu. Seharusnya dia datang. Tapi apa yang terjadi? Sampai sekarang dia gak kasih kabar apa-apa." Kata Satria.
"Mungkin saja dia sedang rapat jadi handphone nya dinonaktifkan. Atau sinyalnya sedang jelek. Lihat saja cuacanya sekarang. Awannya masih mendung, padahal hujan sudah selesai dari tadi pagi." Kata Ibu Satria.
"Paling dia malu karna gak bisa dateng. Jadi dia balik lagi ke Markas." Kata Satria.
Ibu Satria hanya bisa menggeleng. Ia tahu diskusi ini tidak bisa dilanjutkan. Jadi mereka hanya diam selama perjalanan.
--------------------------------------------------
Rumah Kediaman Keluarga Dharmawan
Jakarta Selatan
13.48 WIB
Taksi yang ditumpangi Satria dan ibunya berhenti tepat di depan gerbang rumah Satria. Dengan perasaan yang masih kesal, Satria langsung turun dan masuk ke dalam rumah. Ibu Satria hanya bisa menghela nafas. Dia segera membayar taksinya dan masuk ke rumah. Dia melihat sepatu Satria tergeletak begitu saja karna Satria terburu-buru melepaskannya. Ibu Satria segera memasukkannya ke dalam lemari sepatu yang terdapat di sampingnya bersama sepatu yang dia kenakan.
Didalam kamar, Satria tertelungkup diatas tempat tidurnya. Dia sudah melepaskan topi dan jubah toganya, namun belum melepaskan pakaian formalnya. Dia masih kesal karna Hendra tidak memenuhi janjinya.
"Argh! Kakak apaan dia!" Seru Satria.
"Satria! Satria!" Seru Ibunya dari lantai bawah.
"Iya Bu! Ada Apa?" Seru Satria sambil berjalan mendekati pintu kamarnya.
"Ibu tahu kamu masih kesal, tapi kamu harus makan. Ayo turun." Kata Ibu Satria saat melihat Satria keluar dari kamar.
"Iya bu! Nanti aku ganti baju dulu." Kata Satria.
Tiba-tiba bel pintu berbunyi.
"Sudah bu, biar aku saja. Paling juga Mas Hendra itu..." Kata Satria sambil menuruni tangga.
Satria segera menuruni tangga dan membuka pintu depan. Saat ia membuka pintu, bukan Hendra yang dilihat Satria. Namun seorang pria berumur sekitar 50-an dan pria muda berumur sekitar 30-an. Mereka berdua mengenakan seragam TNI lengkap dengan atributnya.
"Permisi, apa benar ini rumah Hendra Cakra Dharmawan?" Tanya pria berumur 50-an.
"Benar. Tapi Mas Hendra saat ini tidak ada di rumah. Jika kalian ada keperluan, mungkin kalian bisa kembali besok." Kata Satria.
Kedua pria itu saling menatap. Namun segera kembali berbicara dengan Satria.
"Maaf dek, kami tidak ada urusan dengan Hendra. Kami ada urusan dengan ibunya." Kata pria berumur 30-an.
"Apa Bu Sekar ada dirumah?" Tanya pria berumur 50-an.
"Bapak ini siapa? Kenapa anggota TNI bisa tahu nama ibu saya? Apa kalian menyelediki keluarga anggotanya dulu sebelum diterima?" Tanya Satria.
"Kami bukan dari TNI. Kami dari Mabes Polri. Saya tahu nama ibu kamu juga bukan karna alasan yang tidak ada dasarnya itu. Apa kamu paham?" Kata pria berumur 50-an itu.
Satria merasa pria ini bukan pria sembarangan. Dia merasakan aura yang hampir sama seperti saat dia berbicara dengan ayahnya saat dia masih SD.
"Tapi saya tidak tahu anda siapa? Saya tidak bisa membiarkan anda masuk sembarangan." Kata Satria.
"Bilang saja pada ibumu, Soeprapto datang menemui ibumu. Saya yakin dia kenal saya." Kata pria berumur 50-an.
Satria langsung kembali masuk rumah dan segera memberitahu ibunya pesan pria bernama Soeprapto itu. Ibu Satria nampak bahagia. Dia segera melepas celemek yang dia kenakan.
"Dia itu bawahan ayah mu saat ayah mu masih jadi Komandan TNI. Dia juga yang membantu ibu dan ayah mu saat kami akan menikah." Kata Ibu Satria sambil terburu-buru keluar.
Ibu Satria segera menemui Soeprapto dan berbincang lama dengannya. Satria hanya mengintip dari pintu ruang keluarga. Tiba-tiba Ibu Satria menutup mulut dan hidungnya dengan kedua tangannya. Soeprapto dan rekannya melepas topi yang mereka kenakan dan mendekapnya. Seketika Ibu Satria jatuh terduduk sambil menangis tersedu-sedu. Satria yang melihat hal itu langsung lari ke pintu depan dan memegangi pundak ibunya. Didepannya sekarang penuh dengan orang yang menggunakan pakaian yang sama dengan Soeprapto dan rekannya itu. 6 Orang membawa sebuah peti mati kayu yang sangat besar, sedangkan 1 orang di depan mereka memegang sebuah foto. Foto tersebut adalah foto resmi Hendra dengan menggunakan atribut yang sama dengan mereka.
Satria langsung terkejut dan tidak percaya saat mengetahui bahwa kakanya telah tewas saat bertugas. Satria ingin sekali membuka peti itu saat peti mati itu diletakkan di ruang keluarga mereka. Namun pria bernama Soeprapto itu tidak mengizinkan.
"Sebaiknya jangan dibuka. Tubuhnya penuh luka lebam. Luka yang membunuhnya juga sangat parah. Ini demi psikologis kalian berdua." Kata Soeprapto.
"Kami sudah memandikannya dan mengkafaninya. Kami membawanya kemari agar ibu sekeluarga bisa melepaskan kepergiannya sesuai adat dan kepercayaan yang ibu yakini." Kata pria berumur 30-an.
Kabar kematian Hendra segera umumkan kepada semua orang. Sejak sore hari tetangga tak henti-henti datang ke rumah Satria untuk mengungkapkan rasa duka dan menguatkan hati Satria dan ibunya. Surat Yasin dibacakan oleh semua orang yang ada di rumah orang itu. Ibu Satria tak henti meneteskan air mata.
-------------------------------------------------
Taman Makam Pahlawan Kalibata
Jakarta Selatan
10.47 WIB
Taman Makam itu penuh dengan orang-orang, termasuk Satria dan Ibunya. Peti mati Hendra diangkat oleh 6 prajurit berpakaian lengkap. Dan didepan mereka, satu prajurit membawa foto Hendra yang menggunakan seragam yang sama. Pemakaman Hendra akan dilaksanakan secara militer dimana Soeprapto menjadi pemimpinnya. Peti mati Hendra pun diturunkan dan ditutup dengan tanah. Satria dan ibunya menaburkan bunga diatas kuburan Hendra.
Satu per satu orang-orang mulai meninggalkan acara pemakaman. Yang tersisa tinggal Satria, ibunya, dan Soeprapto. Ibu Satria masih terisak dibahu Satria. Soeprapto lalu berjongkok di depan mereka.
"Maafkan saya nyonya. Sekali lagi saya harus datang lagi kemari dengan membawa tubuh mati keluarga anda." Kata Soeprapto.
Ibu Satria langsung mengusap air matanya dengan sapu tangan.
"Kau tidak perlu merasa menyesal. Kematian suamiku dan anakku bukan salahmu. Rejeki, Jodoh, dan Kematian sudah merupakan takdir." Kata Ibu Satria.
"Tapi saya masih tetap merasa saya harus meminta maaf, nyonya. Karna kelalaian saya, anak nyonya tewas." Kata Soeprapto.
"Mari Satria, kita pulang. Kita biarkan kakakmu bersama ayah. Mungkin banyak hal yang akan mereka bicarakan di alam sana." Kata Ibu Satria.
Satria segera membantu ibunya berdiri. Soeprapto pun juga ikut berdiri. Ketiga nya berjalan menjauhi makam Hendra yang tak jauh dari makam ayah Satria.
Satria teringat pembicaraannya dengan Hendra 2 hari sebelum Hendra bertugas.
"Mas, mas jangan lupa loh minggu ini aku wisuda." Kata Satria sambil melihat Hendra memasukkan beberapa pakaian ke dalam tasnya.
"Iya, mas ingat. Mas janji kok nanti bisa datang. Mas sudah ambil cuti 2 hari buat wisuda kamu." Kata Hendra sambil mengelus kepala Satria.
"Mas emang mau tugas lagi? Baru juga lusa pulang." Tanya Satria.
"Hmm.. Komandan mas akhirnya berhasil menemukan sarang teroris. Tim mas yang diberi tugas untuk melakukan penyergapan." Kata Hendra.
"Wah.. Bahaya tuh. Jaman sekarang masih aja yang cari perkara. Emang siapa target mas kali ini?" Tanya Satria.
"Kalau tidak salah, namanya Prof. Zaid Munthahar." Kata Hendra.
"Gelar professor kok jadi teroris." Kata Satria.
"Jangan salah. Banyak pihak yang merasa perdamaian 10 tahun lalu kurang adil bagi mereka. Mungkin mereka punya dendam karna kehilangan keluarga atau kekuasaan. Mungkin salah satunya Professor Zaid ini." Kata Hendra.
"Yang penting mas hati-hati. Jangan sampai terluka. Aku nggak mau hari wisudaku malah harus pergi ke rumah sakit buat nemenin mas kayak waktu ulang tahunku tahun lalu." Kata Satria.
"Tenang aja. Kamu mau janji kelingking sama mas?" Kata Hendra.
"Ogah. Emang ini drama korea apa." Kata Satria.
Satria segera bangkit dan keluar dari kamar Hendra.
Satria memejamkan mata dan meneteslah air mata Satria. Satria segera membuka mata. Beberapa saat yang lalu sorot matanya senduh dan bersedih. Sekarang matanya menatap tajam penuh amarah. Kematian Hendra menciptakan dendam dihati Satria.
"Mas Hendra, akan kulanjutkan tugasmu yang belum tuntas ini. Akan kuhancurkan orang bernama Prof. Zaid Muthahar itu. Akan kukalahkan dia dengan tanganku sendiri." Kata Satria didalam hati sambil melangkah menjauhi makan Hendra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar