Senin, 29 Agustus 2016

Count 03 : Project Zero

Densus 00
Ruang Komandan
08.20 WIB

   Komandan sedang duduk membelakangi pintu kerjanya. Keningnya mengkerut layaknya orang yang sedang berpikir keras. Ujung-ujung jarinya saling bersentuhan. Dia terus mengingat saat kelima anggota teamnya tergantung tak bernyawa diatas langit-langit laboratorium itu. Darah terus menetes dari ujung tangan dan sepatu yang mereka kenakan. Sungguh sebuah kenangan yang buruk baginya. Rasa marah & kecewa memenuhi dadanya dan membuatnya sesak. Perasaan ini sama seperti yang dirasakannya saat dia melihat rekan-rekannya tewas dalam perang dunia ke-3 12 tahun yang lalu.

   Sebuah ketukan pintu terdengar memecah kesunyian ruangan itu. Komadan segera membuyarkan lamunannya.
   "Siapa?" Tanya Komandan.
   "Saya Luna, membawa pak Satria menghadap anda." Kata Luna
   "Dia sudah datang" Kata Komandan didalam hati.
   “Masuklah.” Kata Komandan.
   Segera setelah dia berputar kembali menghadap pintu, pintu ruangan terbuka. Satria dan Luna segera memasuki ruangan. Satria kaget saat melihat wajah Komandan. Dia sepertinya pernah melihatnya saat prosesi pemakaman kakaknya. Namun dia tetap bersikap layaknya seorang polisi. Dia memberi hormat dengan cepat dan tangkas. Luna pun melakukan hal yang sama.
   “Lapor Komandan, Pak Satria sudah datang.” Kata Luna.
   “Terima kasih Luna. Tolong tinggalkan kami berdua.” Kata Komandan.
   “Siap pak!” seru Luna.
   Luna pun berbalik dan meninggalkan ruangan.
   “Lama tak bertemu, Satria. Kau pasti terkejut.” Kata Komandan.
   “Komandan Suprapto. Kenapa anda disini? Kalau tidak salah anda adalah komandan Densus 88 kan?” Tanya Satria.
   “Setelah kejadian Penyerbuan kami itu, aku mengundurkan diri sebagai komandan Densus 88. Namun, setelah insiden “Darah Besi” aku dipanggil kembali dan memimpin Detasemen Khusus 00.” Kata Komandan.

   "Silakan duduk, Satria." Kata Komandan.
   Satria segera berjalan mendekati meja Komandan dan duduk di kursi.
   "Terima Kasih, pak." Kata Satria.
   "Saya tahu kau sangat ingin bergabung dengan Densus 88. Tapi saya pikir kamu lebih dibutuhkan dalam Detasemen ini dibandingkan dengan Densus 88." Kata Komandan
   “Maksud anda?” tanya Satria.
   “Keadaan saat ini tidak menguntungkan kita. Pasukan Drone semakin menyulitkan kita. Sejak insiden 'Darah Besi' infrastruktur dan pertambangan yang dikuasai oleh mereka. Walaupun Densus 88 dan TNI berusaha mengusir mereka, tetap tidak berhasil dan korban yang jatuh semakin banyak." Kata Komandan.
   Komandan segera berdiri dan menutup tirai ruangannya. Dia menekan sebuah tombol di mejanya dan muncullah skema 3D. Skema itu berupa baju tempur berserta data-datanya.
   “2 tahun yang lalu, kami –anggota Densus 00- telah mengajukan sebuah proyek besar agar dapat menyamai kemampuan berperang mereka. Nama proyek itu adalah Project Zero. Dimana kami menciptakan sebuah peralatan tempur yang sanggup untuk mengalahkan pasukan Drone tersebut. Apalagi beberapa bulan ini, Prof. Zaid telah mengembangkan tipe robot baru bernama Cyborg. Teknologi Project Zero kembali harus ditingkatkan." Kata Komandan.
   “Namun setelah semua selesai, masalah baru datang. Tidak ada prajurit yang siap dengan proyek ini. Baik kepolisian maupun TNI, semua prajurit yang kami coba tidak dapat menggunakannya dengan baik. Setelah melihat hasil datamu di Akademi Kepolisian, kami ingin mencoba apakah kau bisa menggunakan Project Zero ini.” Kata Komandan.

   "Karna itu saya dimasukkan kedalam Densus 00?" Tanya Satria.
   “Benar. Walaupun keberhasilan dirimu menggunakan Project Zero mungkin kurang dari 50%, tapi layak untuk dicoba.” Kata Komandan.
   “Jika menggunakanya, apa saya bisa berada dalam pertempuran juga?” tanya Satria.
   “Tentu saja. Kau akan berada di garis terdepan jika proyek ini berhasil. Kementrian Pertahanan telah memberi izin. Namun itu juga jika semua test telah kau lakukan dan hasilnya aku anggap kau sudah siap bertempur.” Kata Komandan.
   Satria melihat dengan seksama desain baju zirah itu. Tangannya mencengkram lututnya dengan keras.
   "Tuhan tidak selalu memberikan kita yang kita mau, namun Dia selalu memberikan yang terbaik untuk kita." Kata Satria.
   Satria segera bangkit dari kursinya dan berseru, “Jika Project Zero bisa  gunakan untuk mengalahkan Prof. Zaid dan seluruh pasukan Drone-nya, maka aku akan menggunakannya. Tidak, Saya harus bisa menggunakannya.”
   Komandan menatap mata Satria yang berapi-api. Komandan tersenyum. Dia ingat saat bertemu Hendra pertama kali. Komanda lalu memegang pundak Satria.
   “Baiklah. Kalau begitu kau akan ku perkenalkan dengan penanggungjawab Project Zero” kata Komandan sambil membuka pintu ruangan.

---------------------------------------------
MABES POLRI
Ruang Penelitian Densus 00
09.10 WIB

   “Densus 00 hanya memiliki 1 ruangan lobby, 1 ruangan Komandan, 1 ruangan Penelitian.” Kata Komandan.
   Komandan lalu menggesekan ID Card-nya, menekan kombinasi tombol dan melakukan scan sidik jari. Pintu ruang penelitian pun terbuka.

   Ruangan Penelitian sangat luas. Banyak orang menggunakan seragam jas biru berjalan kesana kemari. Ada yang sedang memperbaiki komputer. Ada yang sedang mengetik. Ada yang berdiskusi. Ada yang menyerahkan laporan kepada rekannya. Namun yang paling terlihat mencolok adalah seorang pria berkacamata yang dari tadi hilir mudik melihat komputer rekannya dan melakukan sesuatu didepan sebuah kaca berbentuk tabung.
   “Komandan!” seru seseorang yang melihat Komandan.
   Sontak seluruh aktivitas berhenti. Semua melihat ke arah komandan. Mereka segera memberi hormat pada Komandan. Komandan pun membalas hormat mereka dengan cepat.
   “Teruskan kerja kalian.” Kata Komandan.
   Aktivitas yang sempat terhenti kembali berjalan kecuali pria berkacamata tadi. Dia berjalan mendekati Komandan dan Satria. Dia memberi hormat sebelum berbicara.
   “Persiapan sudah selesai Pak. Project Zero siap diuji coba.” Katanya.
   “Bagus Ridwan. Oh iya Satria, ini Ridwan. Dia adalah penanggung jawab langsung Project Zero. Ridwan, ini Satria. Dialah yang akan menggunakan Project Zero.” Kata Komandan.
   “Halo. Nama saya Satria Cahya Dharmawan.” Kata Satria sambil mengajak Ridwan berjabat tangan.
   Namun pria itu masih mendekapkan tangannya. Pria berkacamata yang bernama Ridwan itu lalu mengelilingi Satria. Dia memperhatikan setiap detail tubuh Satria. Satria merasa agak sedikit risih dilihat seperti itu. Tiba-tiba Ridwan mencengkram lengan Satria.
   “Ayo. Ikut aku.” Kata Ridwan.
   Satria pun diseret oleh Ridwan menuju sebuah pintu. Komandan mengikuti mereka dari belakang.

   “Sebelum menggunakan Project Zero, pertama : kami harus meneliti semua yang ada pada dirimu. Stamina, kekuatan, kelincahan, akurasi, dan kemampuan bertarungmu merupakan hal yang perlu diperhatikan. Kami harus melakukannya agar kami mendapatkan data standar yang akurat dan bisa memutuskan kau layak menggunakan Project Zero atau tidak.” Kata Ridwan.
   Ridwan lalu menekan tombol pada pintu itu dan pintu langsung bergeser terbuka. Isi ruangan tersebut adalah alat-alat olahraga yang biasanya ada di gym center namun dengan sedikit modifikasi. Seluruh anggota Densus 00 yang berada pada ruangan tersebut segera melirik ke arah pintu. Saat mereka melihat Komandan dibelakang Satria dan Ridwan, mereka segera memberi hormat dan dibalas oleh mereka bertiga. Ridwan langsung mendekati alat seperti treadmeal dan menepuknya.
   “Ayo, kita lakukan pengujian.” Kata Ridwan.

   Tubuh Satria ditempeli oleh berbagai macam kabel yang terhubung dengan alat yang ada pada punggungnya. Alat ini akan mengirimkan data ke komputer utama untuk dianalisis. Satria melakukan lari diatas treadmeal dengan kecepatan yang stabil sementara Ridwan, Komandan, dan beberapa anggota Densus 00 memperhatikan monitor. Selanjutnya, Satria melakukan angkat beban 5 kg selama 30 menit untuk menguji kekuatannya. Lalu dia juga memasuki ruangan dimana dia harus menghindari bola baseball yang ditembakan dengan cepat. Kemudian dia melakukan olahraga menembak untuk menguji akurasinya. Dan terakhir, dia melakukan pertarungan dengan robot latihan. Setelah semua sesi pengujian dilakukan, data diproses dalam komputer utama. Ridwan merasa terkejut dengan hasilnya.
   “Ini sudah melebih spesifikasi dasar kita, Ridwan.” Kata Komandan yang berdiri dibelakangnya.
   “Namun tidak terlalu signifikan pak. Kita harus “memolesnya” sedikit lagi untuk meningkatkan kemampuannya.” Kata Ridwan.
   Sejak saat itu, Satria melatih dirinya setiap hari.

Senin, 08 Agustus 2016

Count 02 : Densus 00

Sudah 10 tahun kami hidup dengan tenang dan nyaman. Perang Dunia telah berlalu. Robot-robot yang digunakan untuk berperang telah dialih-fungsikan untuk membantu manusia saat ini. Ini berkat teknologi yang manusia ciptakan. Manusia mendaur-ulang robot-robot tersebut dan membuatnya kembali sehingga dapat bermanfaat bagi manusia. Pekerjaan yang berbahaya bagi manusia, serahkan saja pada mereka. Mereka membantu kami dan kami menjaga mereka. Kami hidup berdampingan dengan mereka. Kami dan mereka saling menghargai.

Setengah tahun setelah aku masuk ke akademi kepolisian, serangan mendadak telah terjadi di Indonesia. Beberapa pasukan robot yang disebut ‘Drone’ telah melakukan pembajakan dan penyerangan ke seluruh pelosok Indonesia. Yang menciptakan mereka adalah orang terbaik dan paling berbahaya di Indonesia, Professor Zaid Munthahar. Dia adalah orang jenius. Mungkin terlalu jenius. Dengan seluruh Drone yang dia buat, teror dan kerusakan telah melanda dimana-mana. Tentara dan Kepolisian saling bahu-membahu berusaha menghentikan penyerangan ini. Manusia dan robot telah menjadi korban. Kami mengenang hari itu sebagai tragedi ‘Darah Besi’.

Namun saat itu aku tidak terkejut dengan serangan tersebut. Bisa dibilang, aku sudah menduganya. Karna kakakku telah terbunuh saat melakukan penyerbuan ke dalam laboratorium Prof.Zaid 6 bulan sebelum tragedi ‘Darah Besi’ terjadi. Walaupun Prof. Zaid berhasil tertangkap, namun robot-robotnya menyelamatkan dia dan membunuh semua pasukan Densus 88 yang melakukan penyerbuan. Karna itulah aku masuk ke akademi kepolisian setelah mendapat S1 dibidang Hukum. Aku ingin membalaskan dendamku kepada Prof. Zaid yang telah membunuh kakakku. Aku ingin masuk Detasemen Khusus 88 Anti-Teror seperti kakakku. Karna hanya Detasemen itu saja yang diizinkan oleh negara untuk melakukan misi pembasmian Drone bersama seluruh tentara yang ada di Indonesia.


--------------------------------------------------------------
Markas Besar Polisi Republik Indonesia (Mabes Polri)
3 Tahun setelah tragedi ‘Darah Besi’
08.00 WIB

   Seorang pria berumur sekitar 26 tahun telah berdiri didepan gerbang Mabes Polri. Dia mengenakan pakaian formal khas kepolisian dan menyandang tas ransel yang cukup besar. Dia terus memandang gedung Mabes Polri yang besar di kejauhan dan selembar kertas yang dia genggam saat ini. Dikertas tersebut tertulis:

  Surat No.    : 112/2XXX/AkPol/001.03.104XXX
  Perihal        : Surat Tugas

  Dengan ini, kami menyatakan kepada Saudara:

  Nama          : Satria Cahya Dharmawan
  Umur           : 26 Tahun
  No. AkPol     : 0230000472XX

   Telah menerima pendidikan serta pelatihan dari Akademi Kepolisian dengan nilai Sangat Baik. Maka dari itu, kami menugaskan Saudara di Markas Besar Polisi Republik Indonesia (MABES POLRI) dan menjadi anggota Detasemen Khusus (Densus) 00. Penugasan anda akan dimulai pada hari Senin tanggal 11 bulan 06 tahun 2XXX.
   Demikian Surat Penugasan ini kami buat. Atas perhatiannya, kami ucapkan terima kasih.

TTD
Jendral Besar MABES POLRI

n.b: mohon untuk membawa surat ini saat anda memasuki Markas.

   Satria terus memperhatikan tulisan ’Detasemen Khusus (Densus) 00’ dalam surat tersebut.
   “Kenapa aku tidak masuk ke Densus 88? Padahal aku termasuk yang terbaik di AkPol. Lagipula memang ada Densus 00 itu? Rasanya tak pernah dengar?” katanya.
   Satria lalu berjalan memasuki Mabes Polri. Dia sempat dihadang oleh polisi yang berjaga di gerbang. Namun saat dia menyatakan maksud kedatangannya disertai dengan menunjukkan surat tugasnya, dia diizinkan masuk.
Halaman depan Mabes Polri sangatlah luas. Memanjang dari kiri ke kanan. Mungkin seluas  lapangan sepak bola. Satria berjalan dengan cepat. Dia sempat melewati beberapa polisi lainnya. Dia juga melihat beberapa pria yang menggunakan seragam sepertinya menaiki tangga yang lebar dan memasuki Markas.
   “Pasti mereka dari AkPol. Sama sepertiku.” Kata Satria dalam hati.
   Satria pun mulai menaiki tangga tersebut dan memasuki Markas.

   Lobby Mabes Polri sangat besar. Di depannya terdapat meja resepsionis. Dan seseorang pemuda dengan seragam AkPol sedang berbicara dengan petugas wanita disana.
   “Ruangan Densus 88 ada disebelah kanan dari lorong ini. Silakan.” Kata petugas wanita tersebut.
   “Terima kasih” kata pemuda itu.
   Dia langsung mengikuti petunjuk dari petugas wanita tadi dan memasuki lorong disebelah kanan dan berbelok ke kiri. Satria terus memperhatikan pemuda tadi hingga dia hilang dari penglihatannya.
   “Enaknya bisa jadi anggota Densus 88” katanya dalam hati.
   Petugas wanita tadi berdehem dengan keras, menyadarkan Satria dari lamunannya. Satria pun mendekati meja tersebut.
   “Selamat pagi dan Selamat datang di Mabes Polri. Ada yang bisa saya bantu?” tanya petugas wanita tersebut.
   “Selamat pagi. Saya dari Akademi Kepolisian. Saya diberi tugas di Detasemen Khusus 00.” Kata Satria.
   Petugas wanita itu terkejut. Dia melirik rekan disampingnya. Rekannya yang juga seorang wanita berdiri.
   “Bisa saya lihat surat penugasannya?” tanya petugas tersebut.
   Satria lalu mengeluarkan surat tugasnya dan menunjukkannya kepada petugas tersebut. Kedua petugas wanita itu membaca surat itu bersama. Mata mereka mengikuti setiap kata yang tertulis dalam surat. Setelah mereka selesai membaca, mereka bertatapan kembali.
   “Baik. Silakan ikut saya.” Kata petugas kedua.
   Satria lalu mengikuti petugas wanita tersebut. Tak lupa dia berterima kasih kepada petugas wanita yang satunya yang dibalas dengan senyuman kecil dan sebuah anggukkan.

   Satria terus mengikuti dari belakang petugas wanita tadi. Mereka memasuki lorong yang berliku-liku. Sambil berjalan, Satria mencoba menarik sebuah informasi.
   “Boleh saya bertanya?” tanya Satria.
   “Silakan.” Kata petugas wanita tersebut.
   “Saya tidak pernah mendengar Densus 00. Sebenarnya Densus 00 itu apa?”
   “Apa yang anda tahu tentang Detasemen Khusus, saudara Satria?”
   “Detasemen Khusus adalah Detasemen yang didirikan untuk melakukan pencegahan dan penangkapan terhadap pelaku yang melakukan tidakan kejahatan khusus seperti Cyber Crime yang menjadi tanggung jawab Densus 44 atau Terorisme yang merupakan tanggung jawab Densus 88.” Kata Satria.
   “Tepat. Di dalam Mabes Polri terdapat 9 Detasemen Khusus mulai dari Densus 11 hingga 99. Densus paling besar diantara mereka adalah Densus 88.” Kata petugas tersebut.
   “Namun, kesembilan Densus tersebut tidak akan ada apa-apanya tanpa Densus 00.” Kata petugas tersebut.
   “Kenapa??” tanya Satria. Terkejut.
   “Seperti yang anda jelaskan sebelumnya bahwa Densus didirikan untuk melakukan pencegahan dan penangkapan terhadap pelaku yang melakukan tindak kejahatan khusus. Densus 00 berbeda. Densus 00 didirikan untuk menyuplai semua kebutuhan seluruh Densus. Mulai dari senjata, peralatan tempur, peralatan intai, desain kendaraan, hingga semua program yang ada di Mabes Polri dibuat oleh Densus 00.” Kata petugas tersebut.
   Satria masih heran dengan tugas dari Densus 00. Mereka pun berbelok ke kiri dan petugas wanita itu berhenti.
   “Kita sudah sampai.” Kata petugas tersebut.
   Satria melihat logo Densus 00 di depan pintu kaca geser otomatis didepannya. Dia membaca tulisan pada logo tersebut. Detasemen Khusus 00 Research and Development. Satria pun terkejut.
   “Disini?” tanya Satria.
   “Benar” kata petugas wanita.
   “Research and Development ?” tanya Satria.
   “Iya. Mari masuk” kata petugas wanita itu.
   Petugas tersebut menekan tombol yang berada dipintu kaca tersebut. Pintu pun bergeser terbuka dan mereka pun masuk. Ruangan depannya memiliki ukuran yang tidak terlalu luas namun tidak juga terlalu kecil. Warna putih mendominasi ruangan tersebut. Beberapa aksen besi dan kaca terdapat pada beberapa sudut ruangan.
   “Pagi Nia, ada apa pagi-pagi datang ke sini?” tanya wanita yang berada di belakang meja resepsionis.
   “Pagi Luna, aku mengantarkan Pak Satria yang akan bertugas di Detasemen ini.” Kata petugas wanita yang mengantarnya tadi.
   “Selamat Datang di Detasemen Khusus 00, Pak Satria. Kami sudah menunggu kedatangan anda.” Kata Luna.
   Satria hanya menggangguk saja.
   “Tapi ngomong-ngomong Luna, kenapa Densus 00 membutuhkan seorang prajurit? Terbaik di AkPol lagi. Apa untuk menjaga data?” tanya Nia.
   “Aku tidak tahu. Ini kebijakan Komandan. Kami hanya menjalankan tugas.” Kata Luna.
   “Baiklah kalau begitu.” Kata Nia dengan lesu.
   “Selamat bertugas Pak Satria.” Kata Nia kepada Satria saat keluar dari ruangan.
   “Terima kasih sudah mengantar saya.” Kata Satria.
   Luna lalu keluar dari mejanya dan mendekati pintu yang berada di kirinya. Dia menggesekkan ID Card-nya dan memasukkan beberapa kombinasi angka ke alat pengenal di samping pintu. Pintu kemudian terbuka.
   “Mari Pak Satria. Kita bertemu dulu dengan Komandan.” Kata Luna.
   “Baiklah.” Kata Satria.
   Satria lalu ikut berjalan melewati pintu. Mereka berdua menghilang saat pintu tertutup.

Selasa, 02 Agustus 2016

Count 01 - Dendam

Balairung Universitas Indonesia (UI)
Depok, Jawa Barat
11.42 WIB


   Mahasiswa dari berbagai jurusan memenuhi gedung. Hari ini adalah hari wisuda bagi mahasiswa-mahasiswa tersebut. Saat mahasiswa-mahasiswa dari Fakultas Hukum menaiki podium untuk menerima ijazah sekaligus dinobatkan mendapat gelar S1, seorang mahasiswa terus melihat ke arah balkon dengan wajah cemas. Ia terus menatap seorang wanita yang baru saja menutup telponnya. Wanita itu menatap mahasiswa itu dan menggeleng.

Mahasiswa itu kembali menatap ke depan namun dengan wajah yang sedikit kesal.
   "Katanya mau datang? Mana?" Kata mahasiswa itu di dalam hati.
   "Satria Cahya Dharmawan!" seru MC memintanya untuk maju.
   Mahasiswa bernama Satria itu segera maju mendekati rektor, menyalaminya, dan menundukkan kepala saat sang rektor memindahkan tali topi toganya. Lalu dia segera mendekati dekan fakultasnya dan segera menerima ijazahnya. Segera dia kembali ke kursinya dan kembali menengok ke arah wanita tadi lagi. Wanita itu sedang menelpon lagi namun dari raut wajahnya sambil terus melirik ke arah Satria, dia tidak berhasil menelpon orang yang dimaksud.
   "Awas aja kau Mas Hendra..." Kata Satria di dalam hati.


---------------------------------------------

Taksi
Jalan Raya Depok - Jakarta
13.25 WIB


   Dalam perjalanan, Satria masih kesal karena Hendra tidak datang diacara wisudanya. Wanita yang saat di Balairung UI terus diperhatikannya sekarang duduk di sampingnya.

   "Maklumkan saja lah... Pekerjaan kakak mu itu bukan pekerjaan orang kebanyakan. Waktu kerjanya juga tidak bisa ditetapkan begitu saja." Kata wanita itu.
   "Tapi bu, Mas Hendra udah janji sama Satria. Dia sendiri yang bilang kalau dia pasti bisa datang. Komandannya sudah memberi ijin dari seminggu yang lalu. Seharusnya dia datang. Tapi apa yang terjadi? Sampai sekarang dia gak kasih kabar apa-apa." Kata Satria.
   "Mungkin saja dia sedang rapat jadi handphone nya dinonaktifkan. Atau sinyalnya sedang jelek. Lihat saja cuacanya sekarang. Awannya masih mendung, padahal hujan sudah selesai dari tadi pagi." Kata Ibu Satria.
   "Paling dia malu karna gak bisa dateng. Jadi dia balik lagi ke Markas." Kata Satria.
   Ibu Satria hanya bisa menggeleng. Ia tahu diskusi ini tidak bisa dilanjutkan. Jadi mereka hanya diam selama perjalanan.


--------------------------------------------------

Rumah Kediaman Keluarga Dharmawan
Jakarta Selatan
13.48 WIB


   Taksi yang ditumpangi Satria dan ibunya berhenti tepat di depan gerbang rumah Satria. Dengan perasaan yang masih kesal, Satria langsung turun dan masuk ke dalam rumah. Ibu Satria hanya bisa menghela nafas. Dia segera membayar taksinya dan masuk ke rumah. Dia melihat sepatu Satria tergeletak begitu saja karna Satria terburu-buru melepaskannya. Ibu Satria segera memasukkannya ke dalam lemari sepatu yang terdapat di sampingnya bersama sepatu yang dia kenakan.

   Didalam kamar, Satria tertelungkup diatas tempat tidurnya. Dia sudah melepaskan topi dan jubah toganya, namun belum melepaskan pakaian formalnya. Dia masih kesal karna Hendra tidak memenuhi janjinya.
   "Argh! Kakak apaan dia!" Seru Satria.
   "Satria! Satria!" Seru Ibunya dari lantai bawah.
   "Iya Bu! Ada Apa?" Seru Satria sambil berjalan mendekati pintu kamarnya.
   "Ibu tahu kamu masih kesal, tapi kamu harus makan. Ayo turun." Kata Ibu Satria saat melihat Satria keluar dari kamar.
   "Iya bu! Nanti aku ganti baju dulu." Kata Satria.
   Tiba-tiba bel pintu berbunyi.
   "Sudah bu, biar aku saja. Paling juga Mas Hendra itu..." Kata Satria sambil menuruni tangga.
   Satria segera menuruni tangga dan membuka pintu depan. Saat ia membuka pintu, bukan Hendra yang dilihat Satria. Namun seorang pria berumur sekitar 50-an dan pria muda berumur sekitar 30-an. Mereka berdua mengenakan seragam TNI lengkap dengan atributnya.
   "Permisi, apa benar ini rumah Hendra Cakra Dharmawan?" Tanya pria berumur 50-an.
   "Benar. Tapi Mas Hendra saat ini tidak ada di rumah. Jika kalian ada keperluan, mungkin kalian bisa kembali besok." Kata Satria.
   Kedua pria itu saling menatap. Namun segera kembali berbicara dengan Satria.
   "Maaf dek, kami tidak ada urusan dengan Hendra. Kami ada urusan dengan ibunya." Kata pria berumur 30-an.
   "Apa Bu Sekar ada dirumah?" Tanya pria berumur 50-an.
   "Bapak ini siapa? Kenapa anggota TNI bisa tahu nama ibu saya? Apa kalian menyelediki keluarga anggotanya dulu sebelum diterima?" Tanya Satria.
   "Kami bukan dari TNI. Kami dari Mabes Polri. Saya tahu nama ibu kamu juga bukan karna alasan yang tidak ada dasarnya itu. Apa kamu paham?" Kata pria berumur 50-an itu.
   Satria merasa pria ini bukan pria sembarangan. Dia merasakan aura yang hampir sama seperti saat dia berbicara dengan ayahnya saat dia masih SD.
   "Tapi saya tidak tahu anda siapa? Saya tidak bisa membiarkan anda masuk sembarangan." Kata Satria.
   "Bilang saja pada ibumu, Soeprapto datang menemui ibumu. Saya yakin dia kenal saya." Kata pria berumur 50-an.
   Satria langsung kembali masuk rumah dan segera memberitahu ibunya pesan pria bernama Soeprapto itu. Ibu Satria nampak bahagia. Dia segera melepas celemek yang dia kenakan.
   "Dia itu bawahan ayah mu saat ayah mu masih jadi Komandan TNI. Dia juga yang membantu ibu dan ayah mu saat kami akan menikah." Kata Ibu Satria sambil terburu-buru keluar.
   Ibu Satria segera menemui Soeprapto dan berbincang lama dengannya. Satria hanya mengintip dari pintu ruang keluarga. Tiba-tiba Ibu Satria menutup mulut dan hidungnya dengan kedua tangannya. Soeprapto dan rekannya melepas topi yang mereka kenakan dan mendekapnya. Seketika Ibu Satria jatuh terduduk sambil menangis tersedu-sedu. Satria yang melihat hal itu langsung lari ke pintu depan dan memegangi pundak ibunya. Didepannya sekarang penuh dengan orang yang menggunakan pakaian yang sama dengan Soeprapto dan rekannya itu. 6 Orang membawa sebuah peti mati kayu yang sangat besar, sedangkan 1 orang di depan mereka memegang sebuah foto. Foto tersebut adalah foto resmi Hendra dengan menggunakan atribut yang sama dengan mereka.

   Satria langsung terkejut dan tidak percaya saat mengetahui bahwa kakanya telah tewas saat bertugas. Satria ingin sekali membuka peti itu saat peti mati itu diletakkan di ruang keluarga mereka. Namun pria bernama Soeprapto itu tidak mengizinkan.
   "Sebaiknya jangan dibuka. Tubuhnya penuh luka lebam. Luka yang membunuhnya juga sangat parah. Ini demi psikologis kalian berdua." Kata Soeprapto.
   "Kami sudah memandikannya dan mengkafaninya. Kami membawanya kemari agar ibu sekeluarga bisa melepaskan kepergiannya sesuai adat dan kepercayaan yang ibu yakini." Kata pria berumur 30-an.
   Kabar kematian Hendra segera umumkan kepada semua orang. Sejak sore hari tetangga tak henti-henti datang ke rumah Satria untuk mengungkapkan rasa duka dan menguatkan hati Satria dan ibunya. Surat Yasin dibacakan oleh semua orang yang ada di rumah orang itu. Ibu Satria tak henti meneteskan air mata.


-------------------------------------------------

Taman Makam Pahlawan Kalibata
Jakarta Selatan
10.47 WIB


   Taman Makam itu penuh dengan orang-orang, termasuk Satria dan Ibunya. Peti mati Hendra diangkat oleh 6 prajurit berpakaian lengkap. Dan didepan mereka, satu prajurit membawa foto Hendra yang menggunakan seragam yang sama. Pemakaman Hendra akan dilaksanakan secara militer dimana Soeprapto menjadi pemimpinnya. Peti mati Hendra pun diturunkan dan ditutup dengan tanah. Satria dan ibunya menaburkan bunga diatas kuburan Hendra.

   Satu per satu orang-orang mulai meninggalkan acara pemakaman. Yang tersisa tinggal Satria, ibunya, dan Soeprapto. Ibu Satria masih terisak dibahu Satria. Soeprapto lalu berjongkok di depan mereka.
   "Maafkan saya nyonya. Sekali lagi saya harus datang lagi kemari dengan membawa tubuh mati keluarga anda." Kata Soeprapto.
   Ibu Satria langsung mengusap air matanya dengan sapu tangan.
   "Kau tidak perlu merasa menyesal. Kematian suamiku dan anakku bukan salahmu. Rejeki, Jodoh, dan Kematian sudah merupakan takdir." Kata Ibu Satria.
   "Tapi saya masih tetap merasa saya harus meminta maaf, nyonya. Karna kelalaian saya, anak nyonya tewas." Kata Soeprapto.
   "Mari Satria, kita pulang. Kita biarkan kakakmu bersama ayah. Mungkin banyak hal yang akan mereka bicarakan di alam sana." Kata Ibu Satria.
   Satria segera membantu ibunya berdiri. Soeprapto pun juga ikut berdiri. Ketiga nya berjalan menjauhi makam Hendra yang tak jauh dari makam ayah Satria.
   
   Satria teringat pembicaraannya dengan Hendra 2 hari sebelum Hendra bertugas.
   "Mas, mas jangan lupa loh minggu ini aku wisuda." Kata Satria sambil melihat Hendra memasukkan beberapa pakaian ke dalam tasnya.
   "Iya, mas ingat. Mas janji kok nanti bisa datang. Mas sudah ambil cuti 2 hari buat wisuda kamu." Kata Hendra sambil mengelus kepala Satria.
   "Mas emang mau tugas lagi? Baru juga lusa pulang." Tanya Satria.
   "Hmm.. Komandan mas akhirnya berhasil menemukan sarang teroris. Tim mas yang diberi tugas untuk melakukan penyergapan." Kata Hendra.
   "Wah.. Bahaya tuh. Jaman sekarang masih aja yang cari perkara. Emang siapa target mas kali ini?" Tanya Satria.
   "Kalau tidak salah, namanya Prof. Zaid Munthahar." Kata Hendra.
   "Gelar professor kok jadi teroris." Kata Satria.
   "Jangan salah. Banyak pihak yang merasa perdamaian 10 tahun lalu kurang adil bagi mereka. Mungkin mereka punya dendam karna kehilangan keluarga atau kekuasaan. Mungkin salah satunya Professor Zaid ini." Kata Hendra.
   "Yang penting mas hati-hati. Jangan sampai terluka. Aku nggak mau hari wisudaku malah harus pergi ke rumah sakit buat nemenin mas kayak waktu ulang tahunku tahun lalu." Kata Satria.
   "Tenang aja. Kamu mau janji kelingking sama mas?" Kata Hendra.
   "Ogah. Emang ini drama korea apa." Kata Satria.
   Satria segera bangkit dan keluar dari kamar Hendra.
   
   Satria memejamkan mata dan meneteslah air mata Satria. Satria segera membuka mata. Beberapa saat yang lalu sorot matanya senduh dan bersedih. Sekarang matanya menatap tajam penuh amarah. Kematian Hendra menciptakan dendam dihati Satria.
   "Mas Hendra, akan kulanjutkan tugasmu yang belum tuntas ini. Akan kuhancurkan orang bernama Prof. Zaid Muthahar itu. Akan kukalahkan dia dengan tanganku sendiri." Kata Satria didalam hati sambil melangkah menjauhi makan Hendra.

Senin, 06 Juni 2016

Count 00 : Penyerbuan

Tahun 20xx
Tangerang, Jalan Raya
Mobil Van Densus 88
22.00 WIB

   Sebuah van besar berlogo Densus 88 berlari menembus hujan yang tak berhenti dari sore tadi. Hujan ini membuat jalan raya terasa sepi, hanya beberapa mobil saja yang ikut terus menerjang hujan sedangkan sepeda motor hampir tak terlihat. Didalam van beberapa prajurit duduk saling berhadapan, sedangkan Komandan duduk membelakangi dinding besi yang memisahkan mereka dengan pengemudi.
   "Sebentar lagi kita akan melakukan penyerbuan ke dalam salah satu anggota jaringan teroris. Dialah yang menyediakan bahan peledak, senjata, dan teknologi. Dia juga yang mengajarkan beberapa anggota lain untuk membuat bom. Bisa dibilang dia adalah salah satu tokoh dibalik layar" kata Komandan.
   "Jika saya boleh bertanya pak, siapa target kita?" tanya salah satu prajurit.
   "Target kita bernama Professor Zaid Munthahar. Pria paling jenius pada masa Perang Dunia Ketiga. Karena itu, dia direkut oleh presiden saat itu sebagai kepala tim Riset. Dia juga yang membantu mendesain dan menciptakan peralatan perang TNI dimasanya." kata Komandan.
   "Namun, dengan berhentinya Perang Dunia Ketiga setelah terjadinya Perjanjian Dunia, keberadaannya tidak diperlukan lagi oleh negara sehingga dia diberhentikan. Senjata-senjata ciptaannya pun ikut dihancurkan, sesuai dengan syarat Perjanjian Dunia." lanjutnya.
   "Mungkinkah Professor Zaid Munthahar merasa dibuang sehingga dia ingin membalas dendam dengan cara membantu jaringan teroris di Indonesia?" tanya salah satu prajurit yang lain.
   "Kemungkinan atas motif itu besar Hendra," kata Komandan kepada prajurit tersebut.
   "Maka dari itu kita harus memutus rantai hitam ini dengan menangkapnya" lanjutnya.

Tiba-tiba van berhenti. "Sudah saatnya" pikir Komandan.
   "Persiapkan diri kalian. Mungkin dia telah menyiapkan beberapa sistem keamanan dan orang-orang dengan persenjataan lengkap dalam laboratoriumnya." seru Komandan.
   "Misi kita ini adalah menangkapnya hidup-hidup. Ingat HIDUP-HIDUP. Jika dia mati, semuanya tidak berguna. Kita harus menghancurkan jaringan teroris ini sampai keakar-akarnya, dan hanya Prof. Zaid yang tahu keberadaan mereka." lanjutnya.
   Sambil mengkokang senjatanya, komandan berkata "Oh ya, satu hal lagi."
   Seluruh pasukan menoleh dan siap mendengarkan.
   "Saya tidak mau ada bangku yang kosong saat kita pulang nanti. Mengerti!" serunya.
   "Siap, Pak!" seru seluruh prajurit.

   Mereka langsung turun dari van dan bergerak memasuki bekas pabrik tekstil yang besar ini.
   "Kalau kamu gak mungkin gak pulang malem ini kan Dra?" tanya salah satu prajurit pada Hendra.
   "Tentu saja. Kalau aku gak pulang dari sini malam ini, adikku pasti marah besar karna gak nganter dia wisuda." kata Hendra.
   Pasukan berhenti atas sinyal tangan Komandan. Mereka berhenti didepan pintu pabrik, siap mendobrak masuk. Komandan memberi sinyal formasi pendobrakkan. Dalam hitungan ketiga, seluruh pasukan dan Komandan menyerbu masuk.

--------
Tangerang, Bekas Pabrik Tekstil
Lab. Prof. Zaid
23.47

   Seseorang memasukkan kode-kode yang rumit kedalam komputer yang sangat besar. Lengkap dengan 5 layar yang menampilkan kode-kode dan status yang terus berjalan. 3 buah silinder setinggi 2 meter berdiri dibelakang komputer tersebut menderu dengan kencangnya seakan-akan seluruh kode perintah dalam komputer tadi dimasukkan secepat-cepatnya kedalam tabung-tabung tersebut. Orang yang memasukkan kode-kode tersebut mengenakan jas lab putih, berkacamata tebal, umurnya saat itu sekitar 49 tahun, rambutnya agak botak ditengah khas seorang profesor yang selalu berpikir dan terus menciptakan imajinasinya menjadi kenyataan. Dialah Professor Zaid Munthahar.

   Tangannya dengan cepat menekan tombol-tombol keyboard-nya secepat mungkin. Keringat bercucuran menjalar dari dahinya yang licin itu hingga membasahi kerah kemeja beserta jas lab putihnya itu. Matanya bergerak cepat mengikuti huruf dan angka yang terus ia ketik. Sekali-sekali dia menengok ke belakang punggungnya dimana pintu labnya berada. Terus begitu seakan-akan tidak pernah lelah.

   Setengah jam yang lalu, sistemnya melaporkan adanya penyusup yang masuk kedalam pabriknya saat dia melakukan setting akhir temuannya ini. Saat melihat ke layar monitor, dia menyadari penyusup ini bukan orang-orang sembarangan. Dari perlengkapan yang mereka bawa dan teknik bertempurnya, bisa jadi mereka tentara atau polisi. Anak buahnya hanya akan menahan mereka sebentar, namun Prof. Zaid harus menyelesaikan temuannya ini. Itulah yang dia pikir -paling tidak- sebelum dia ditangkap atau dibunuh oleh mereka. Dan saat ini para penyusup itu sudah mendekati posisinya saat ini.

   Beberapa menit kemudian, akhirnya pekerjaanya selesai. Hanya tinggal menunggu pengunggahan selesai. Prof. Zaid langsung mematikan layar komputernya, namun tidak mematikan komputernya. Dia hanya ingin langsung kabur dari ruangan itu. Barang-barang yang dia perlukan langsung dia masukkan ke dalam tasnya. Lalu dia langsung keluar dari Laboratoriumnya. Namun saat keluar, Hendra yang melakukan penyisiran melihat punggungnya.
   "Diam ditempat Prof. Zaid!" seru Hendra.
Mendengar teriakan itu, membuat Prof. Zaid berlari sekencang-kencangnya. Hendra pun berlari mencoba menangkapnya. Seluruh pasukan yang mendengar teriakan Hendra ikut mengejar dibelakangnya. Salah satu prajurit tersebut berbicara melalui earphone di telinganya.
   "Target ditemukan. Sekali lagi, target ditemukan. Target berlari menuju sektor A3. dia berbelok ke kiri menuju sektor A5."
   "Seluruh pasukan, cepat hentikan dia!" seru Komandan ikut berlari menuju sektor A5.

   Saat menuju sektor A5, Prof. Zaid melihat 2 prajurit didepannya. Salah satunya siap menembak. Dengan cepat, Prof. Zaid berbelok ke kanan. Terdengar sebuah peluru menyerempet tembok tempat dia berbelok tadi.
   "Bodoh! Jangan menembak! Kita harus menangkapnya hidup-hidup." Jelas prajurit yang satunya sambil berlari lagi.
   Mereka berpapasan dengan Hendra dan prajurit lainnya dan menunjuk arah Prof. Zaid tadi berlari. Komandan pun berpapasan dengan mereka dan berlari mengikuti mereka.

   Beberapa menit pengejaran, kecepatan Prof. Zaid menurun. Jaraknya dengan penyerbu makin berkurang. Komandan segera mengeluarkan pistol dan menembak kaki Prof.Zaid.
   "Arghhhh!" teriak Prof. Zaid.
   Dia pun jatuh tersungkur dan segala barang-barangnya berceceran di lantai.
Segera setelah itu dia ditangkap dan digelandang menuju van.
   "Kalian berlima tetap disini. Lakukan penyisiran jika perlu. Jangan sampai ada yang keluar hidup-hidup dari pabrik ini." seru Komandan sambil menunjuk 5 pasukannya, termasuk Hendra.
   "Saya perlu mengawal van ini hingga perbatasan Tangerang. Nanti saya akan kembali kesini. Dan Hendra..."
   "Siap Pak." seru Hendra.
   "Kamu yang akan bertanggung jawab hingga saya kembali. Mengerti?" kata Komandan
   "Siap, Pak! Laksanakan!" seru Hendra.
   Mobil van itu pun pergi meninggalkan 5 orang prajurit itu. Mereka ber-5 kemudian melakukan penyisiran satu per satu ruangan di dalam pabrik tersebut hingga akhirnya mereka masuk ke dalam lab. Prof. Zaid.

   Mereka memperluas penyisiran dalam ruangan besar tersebut. Salah satu prajurit melihat tabung-tabung besi yang besar dengan pintunya yang telah terbuka. Hendra melihat layar monitor mati, namun lampu power komputer masih menyala. Segera dia menyalakan kelima monitor tersebut. Salah satu layar menunjukkan 'Uploading Process Complete : 100 %'
   Segera Hendra memanggil salah satu temannya,
   "Lukman, bisa tolong aku sebentar"
   Prajurit bernama Lukman tersebut mendekat dan melihat layar komputer menyala.
   "Bisa kau cari, apa yang dia unggah dari komputer ini dan kemana itu diunggah?" tanya Hendra.
   "Tentu." jawab Lukman. Segera dia duduk di depan komputer.
   Sementara mereka melakukan itu, mereka tidak sadar kalau salah satu teman mereka diserang dalam diam. Lalu, seluruh pasukan yang melakukan penyisiran berkumpul didepan komputer.
   "Tidak ada manusia disini selain kita." kata salah satu prajurit.
   "Tidak ada yang aneh juga." kata yang lainnya.
Hendra pun menoleh kepada mereka dan terkejut.
   "Mana Zaki?" tanyanya.
   Ketiga temannya saling menoleh ke segala arah, mencoba mencari Zaki di sekeliling mereka.
   "Zak!, Zak! Dimana loe? Jawab!" seru salah satunya. Namun hanya hening yang menjawab.
   "Oke, kita berpencar. Cari Zaki di setiap sudut ruangan ini. Dan kau Lukman, tetap disini. Kalau kau menemukan sesuatu, panggil aku." kata Hendra.
   "Oke." jawab Lukman.

   Mereka pun mulai berpencar. Namun baru sebentar berjalan, salah satu prajurit diserang oleh sesuatu. Hendra dan prajurit lainnya menyadari temannya hilang, Hendra lalu memanggil namanya namun tidak dijawab.
   "Aku merasakan hal yang aneh sedang terjadi disini. Aku merasakan kehadiran musuh, tapi tidak bisa melihatnya." pikir Hendra.
   "Dra, aku berhasil..." teriak Lukman di depan komputer.
Hendra langsung menenggok Lukman. Namun, salah satu prajurit lainnya diserang.
   "Arghhhh!!!!" teriaknya prajurit itu.
   Hendra yang shock segera berbalik dan melihat temannya ditarik oleh sesuatu ke kegelapan.
   "Arghhhh!!!" teriak Lukman. Hendra menoleh dan melihat Lukman ditarik ke atas.
   Melihat kedua kejadian itu, mulai membuat Hendra takut. Dia benar-benar tidak dapat melakukan apa-apa saat kedua temannya diserang oleh sosok yang tak terlihat. Rasa cemas, amarah, dan ketakutan menghampiri hatinya.
   "Aaaaaaa!!!!" teriak Hendra mulai menembak dengan brutalnya ke segala arah.
   "Siapapun disana! Hadapi Aku!" teriak Hendra.
   Namun teriakannya hanya sebentar. Karena dia menyadari sesuatu yang berat baru saja jatuh dibelakangnya. Hendra langsung memutar tubuh pelan-pelan dan dilihatnya sesosok hitam berdiri di belakangnya. Hendra langsung menembakan senjatanya bertubi-tubi kepada sosok tersebut, namun tak mempan. Butir-butir peluru hanya berjatuhan disekitarnya. Hendra mulai mundur, mencoba menarik pistol dari sakunya. Namun tiba-tiba petir menyambar dan dia sangat terkejut. Bukan oleh petir yang menyambar saat itu, tapi karena sosok hitam tadi terlihat jelas saat petir menyambar. Sosok itu bergerak dengan cepat mendekatinya saat itu. Bersamaan dengan hilangnya cahaya petir, Hendra dibawa ke langit-langit. Laboratorium itu kembali sepi.

--------
Tangerang, Bekas Pabrik Tekstil
Lab. Prof. Zaid
01.00

   Komandan turun dari jeep-nya dan langsung masuk ke dalam pabrik. Ia memanggil prajurit-prajuritnya. Namun tidak ada jawaban.
   "Ada yang aneh." pikir Komandan.
   Segera dia menarik pistol, dan melakukan penelusuran disetiap ruangan hingga akhirnya tiba di laboratorium Prof. Zaid. Atapnya pecah sehingga hujan memasuki ruangan dan membasahi lantai laboratorium. Untuk mencegah terjadinya konsleting listrik, Komandan segera mematikan listrik diruangan tersebut. Kebetulan kontrol listrik untuk satu lantai berada didalam ruangan tersebut.
Komandan mulai berkeliling dalam ruangan yang gelap tersebut. Dengan menggunakan senter, dia berkeliling memanggil mereka semua. Namun tidak ada harapan.

   Segera Komandan berjalan keluar. Pada saat itulah petir menyambar, Komandan terkejut dengan siluet yang tercetak di lantai saat petir menyambar tadi. Segera dia berputar dan memandang ke atas. Dan petir kembali menyambar, memperlihatkan 5 sosok manusia yang tergantung diatas langit-langit dengan menggunakan rantai yang besar. Darah menetes dari tangan dan sepatu mereka. Komandan lebih terkejut lagi karena melihat Hendra tertembus kail besi crane dilehernya.
   "BRENGSEK!!" serunya.

   Tiba-tiba handphonenya berbunyi. Salah satu prajuritnya menelpon.
   "Ada Apa?" serunya dengan marah.
   "Komandan, kami diserang!" seru prajurit tersebut.
   "APA? Berapa jumlah penyerang nya?" seru Komandan.
   "Ada 3, Komandan!" seru prajurit itu.
   "Cuma 3? Kalau cuma 3, kenapa kalian sampai menelponku? Habisi saja mereka!" Seru Komandan.
   "Senjata kami tak bisa menembus tubuh mereka Pak! Mereka robot Komandan! Sepertinya, mereka adalah ciptaan Professor Said." Kata prajurit itu.
   "APA? Robot?" Tanya Komandan.
   "Iya Pak!" Seru prajurit itu.
   "Jika mereka yang membunuh Hendra dan yang lainnya disini..... BAHAYA!" Pikir Komandan.
   "Aku perintahkan kalian mundur segera! Batalkan misinya!" Seru Komandan.
   "Kemampuan mereka terlalu hebat pak! Sedangkan serangan kami tidak mempan kepada mereka. Sudah terlalu banyak yang tewas. Kami akan Mati Koman.... Argh!!! Krack!!! Tut..Tut..Tut.."
   "Hallo! HALLO!" seru Komandan.
   Komandan pelan-pelan menurunkan handphonenya dari telinganya. Seakan tidak percaya, mereka semua mati. Dengan muka geram dan rasa putus asa, dia berteriak.
"SIALAAAAANNNN!!!!"