Densus 00
Ruang Komandan
08.20 WIB
Komandan sedang duduk membelakangi pintu kerjanya. Keningnya mengkerut layaknya orang yang sedang berpikir keras. Ujung-ujung jarinya saling bersentuhan. Dia terus mengingat saat kelima anggota teamnya tergantung tak bernyawa diatas langit-langit laboratorium itu. Darah terus menetes dari ujung tangan dan sepatu yang mereka kenakan. Sungguh sebuah kenangan yang buruk baginya. Rasa marah & kecewa memenuhi dadanya dan membuatnya sesak. Perasaan ini sama seperti yang dirasakannya saat dia melihat rekan-rekannya tewas dalam perang dunia ke-3 12 tahun yang lalu.
Sebuah ketukan pintu terdengar memecah kesunyian ruangan itu. Komadan segera membuyarkan lamunannya.
"Siapa?" Tanya Komandan.
"Saya Luna, membawa pak Satria menghadap anda." Kata Luna
"Dia sudah datang" Kata Komandan didalam hati.
“Masuklah.” Kata Komandan.
Segera setelah dia berputar kembali menghadap pintu, pintu ruangan terbuka. Satria dan Luna segera memasuki ruangan. Satria kaget saat melihat wajah Komandan. Dia sepertinya pernah melihatnya saat prosesi pemakaman kakaknya. Namun dia tetap bersikap layaknya seorang polisi. Dia memberi hormat dengan cepat dan tangkas. Luna pun melakukan hal yang sama.
“Lapor Komandan, Pak Satria sudah datang.” Kata Luna.
“Terima kasih Luna. Tolong tinggalkan kami berdua.” Kata Komandan.
“Siap pak!” seru Luna.
Luna pun berbalik dan meninggalkan ruangan.
“Lama tak bertemu, Satria. Kau pasti terkejut.” Kata Komandan.
“Komandan Suprapto. Kenapa anda disini? Kalau tidak salah anda adalah komandan Densus 88 kan?” Tanya Satria.
“Setelah kejadian Penyerbuan kami itu, aku mengundurkan diri sebagai komandan Densus 88. Namun, setelah insiden “Darah Besi” aku dipanggil kembali dan memimpin Detasemen Khusus 00.” Kata Komandan.
"Silakan duduk, Satria." Kata Komandan.
Satria segera berjalan mendekati meja Komandan dan duduk di kursi.
"Terima Kasih, pak." Kata Satria.
"Saya tahu kau sangat ingin bergabung dengan Densus 88. Tapi saya pikir kamu lebih dibutuhkan dalam Detasemen ini dibandingkan dengan Densus 88." Kata Komandan
“Maksud anda?” tanya Satria.
“Keadaan saat ini tidak menguntungkan kita. Pasukan Drone semakin menyulitkan kita. Sejak insiden 'Darah Besi' infrastruktur dan pertambangan yang dikuasai oleh mereka. Walaupun Densus 88 dan TNI berusaha mengusir mereka, tetap tidak berhasil dan korban yang jatuh semakin banyak." Kata Komandan.
Komandan segera berdiri dan menutup tirai ruangannya. Dia menekan sebuah tombol di mejanya dan muncullah skema 3D. Skema itu berupa baju tempur berserta data-datanya.
“2 tahun yang lalu, kami –anggota Densus 00- telah mengajukan sebuah proyek besar agar dapat menyamai kemampuan berperang mereka. Nama proyek itu adalah Project Zero. Dimana kami menciptakan sebuah peralatan tempur yang sanggup untuk mengalahkan pasukan Drone tersebut. Apalagi beberapa bulan ini, Prof. Zaid telah mengembangkan tipe robot baru bernama Cyborg. Teknologi Project Zero kembali harus ditingkatkan." Kata Komandan.
“Namun setelah semua selesai, masalah baru datang. Tidak ada prajurit yang siap dengan proyek ini. Baik kepolisian maupun TNI, semua prajurit yang kami coba tidak dapat menggunakannya dengan baik. Setelah melihat hasil datamu di Akademi Kepolisian, kami ingin mencoba apakah kau bisa menggunakan Project Zero ini.” Kata Komandan.
"Karna itu saya dimasukkan kedalam Densus 00?" Tanya Satria.
“Benar. Walaupun keberhasilan dirimu menggunakan Project Zero mungkin kurang dari 50%, tapi layak untuk dicoba.” Kata Komandan.
“Jika menggunakanya, apa saya bisa berada dalam pertempuran juga?” tanya Satria.
“Tentu saja. Kau akan berada di garis terdepan jika proyek ini berhasil. Kementrian Pertahanan telah memberi izin. Namun itu juga jika semua test telah kau lakukan dan hasilnya aku anggap kau sudah siap bertempur.” Kata Komandan.
Satria melihat dengan seksama desain baju zirah itu. Tangannya mencengkram lututnya dengan keras.
"Tuhan tidak selalu memberikan kita yang kita mau, namun Dia selalu memberikan yang terbaik untuk kita." Kata Satria.
Satria segera bangkit dari kursinya dan berseru, “Jika Project Zero bisa gunakan untuk mengalahkan Prof. Zaid dan seluruh pasukan Drone-nya, maka aku akan menggunakannya. Tidak, Saya harus bisa menggunakannya.”
Komandan menatap mata Satria yang berapi-api. Komandan tersenyum. Dia ingat saat bertemu Hendra pertama kali. Komanda lalu memegang pundak Satria.
“Baiklah. Kalau begitu kau akan ku perkenalkan dengan penanggungjawab Project Zero” kata Komandan sambil membuka pintu ruangan.
---------------------------------------------
MABES POLRI
Ruang Penelitian Densus 00
09.10 WIB
“Densus 00 hanya memiliki 1 ruangan lobby, 1 ruangan Komandan, 1 ruangan Penelitian.” Kata Komandan.
Komandan lalu menggesekan ID Card-nya, menekan kombinasi tombol dan melakukan scan sidik jari. Pintu ruang penelitian pun terbuka.
Ruangan Penelitian sangat luas. Banyak orang menggunakan seragam jas biru berjalan kesana kemari. Ada yang sedang memperbaiki komputer. Ada yang sedang mengetik. Ada yang berdiskusi. Ada yang menyerahkan laporan kepada rekannya. Namun yang paling terlihat mencolok adalah seorang pria berkacamata yang dari tadi hilir mudik melihat komputer rekannya dan melakukan sesuatu didepan sebuah kaca berbentuk tabung.
“Komandan!” seru seseorang yang melihat Komandan.
Sontak seluruh aktivitas berhenti. Semua melihat ke arah komandan. Mereka segera memberi hormat pada Komandan. Komandan pun membalas hormat mereka dengan cepat.
“Teruskan kerja kalian.” Kata Komandan.
Aktivitas yang sempat terhenti kembali berjalan kecuali pria berkacamata tadi. Dia berjalan mendekati Komandan dan Satria. Dia memberi hormat sebelum berbicara.
“Persiapan sudah selesai Pak. Project Zero siap diuji coba.” Katanya.
“Bagus Ridwan. Oh iya Satria, ini Ridwan. Dia adalah penanggung jawab langsung Project Zero. Ridwan, ini Satria. Dialah yang akan menggunakan Project Zero.” Kata Komandan.
“Halo. Nama saya Satria Cahya Dharmawan.” Kata Satria sambil mengajak Ridwan berjabat tangan.
Namun pria itu masih mendekapkan tangannya. Pria berkacamata yang bernama Ridwan itu lalu mengelilingi Satria. Dia memperhatikan setiap detail tubuh Satria. Satria merasa agak sedikit risih dilihat seperti itu. Tiba-tiba Ridwan mencengkram lengan Satria.
“Ayo. Ikut aku.” Kata Ridwan.
Satria pun diseret oleh Ridwan menuju sebuah pintu. Komandan mengikuti mereka dari belakang.
“Sebelum menggunakan Project Zero, pertama : kami harus meneliti semua yang ada pada dirimu. Stamina, kekuatan, kelincahan, akurasi, dan kemampuan bertarungmu merupakan hal yang perlu diperhatikan. Kami harus melakukannya agar kami mendapatkan data standar yang akurat dan bisa memutuskan kau layak menggunakan Project Zero atau tidak.” Kata Ridwan.
Ridwan lalu menekan tombol pada pintu itu dan pintu langsung bergeser terbuka. Isi ruangan tersebut adalah alat-alat olahraga yang biasanya ada di gym center namun dengan sedikit modifikasi. Seluruh anggota Densus 00 yang berada pada ruangan tersebut segera melirik ke arah pintu. Saat mereka melihat Komandan dibelakang Satria dan Ridwan, mereka segera memberi hormat dan dibalas oleh mereka bertiga. Ridwan langsung mendekati alat seperti treadmeal dan menepuknya.
“Ayo, kita lakukan pengujian.” Kata Ridwan.
Tubuh Satria ditempeli oleh berbagai macam kabel yang terhubung dengan alat yang ada pada punggungnya. Alat ini akan mengirimkan data ke komputer utama untuk dianalisis. Satria melakukan lari diatas treadmeal dengan kecepatan yang stabil sementara Ridwan, Komandan, dan beberapa anggota Densus 00 memperhatikan monitor. Selanjutnya, Satria melakukan angkat beban 5 kg selama 30 menit untuk menguji kekuatannya. Lalu dia juga memasuki ruangan dimana dia harus menghindari bola baseball yang ditembakan dengan cepat. Kemudian dia melakukan olahraga menembak untuk menguji akurasinya. Dan terakhir, dia melakukan pertarungan dengan robot latihan. Setelah semua sesi pengujian dilakukan, data diproses dalam komputer utama. Ridwan merasa terkejut dengan hasilnya.
“Ini sudah melebih spesifikasi dasar kita, Ridwan.” Kata Komandan yang berdiri dibelakangnya.
“Namun tidak terlalu signifikan pak. Kita harus “memolesnya” sedikit lagi untuk meningkatkan kemampuannya.” Kata Ridwan.
Sejak saat itu, Satria melatih dirinya setiap hari.