Sudah 10 tahun kami hidup dengan tenang dan nyaman. Perang Dunia telah berlalu. Robot-robot yang digunakan untuk berperang telah dialih-fungsikan untuk membantu manusia saat ini. Ini berkat teknologi yang manusia ciptakan. Manusia mendaur-ulang robot-robot tersebut dan membuatnya kembali sehingga dapat bermanfaat bagi manusia. Pekerjaan yang berbahaya bagi manusia, serahkan saja pada mereka. Mereka membantu kami dan kami menjaga mereka. Kami hidup berdampingan dengan mereka. Kami dan mereka saling menghargai.
Setengah tahun setelah aku masuk ke akademi kepolisian, serangan mendadak telah terjadi di Indonesia. Beberapa pasukan robot yang disebut ‘Drone’ telah melakukan pembajakan dan penyerangan ke seluruh pelosok Indonesia. Yang menciptakan mereka adalah orang terbaik dan paling berbahaya di Indonesia, Professor Zaid Munthahar. Dia adalah orang jenius. Mungkin terlalu jenius. Dengan seluruh Drone yang dia buat, teror dan kerusakan telah melanda dimana-mana. Tentara dan Kepolisian saling bahu-membahu berusaha menghentikan penyerangan ini. Manusia dan robot telah menjadi korban. Kami mengenang hari itu sebagai tragedi ‘Darah Besi’.
Namun saat itu aku tidak terkejut dengan serangan tersebut. Bisa dibilang, aku sudah menduganya. Karna kakakku telah terbunuh saat melakukan penyerbuan ke dalam laboratorium Prof.Zaid 6 bulan sebelum tragedi ‘Darah Besi’ terjadi. Walaupun Prof. Zaid berhasil tertangkap, namun robot-robotnya menyelamatkan dia dan membunuh semua pasukan Densus 88 yang melakukan penyerbuan. Karna itulah aku masuk ke akademi kepolisian setelah mendapat S1 dibidang Hukum. Aku ingin membalaskan dendamku kepada Prof. Zaid yang telah membunuh kakakku. Aku ingin masuk Detasemen Khusus 88 Anti-Teror seperti kakakku. Karna hanya Detasemen itu saja yang diizinkan oleh negara untuk melakukan misi pembasmian Drone bersama seluruh tentara yang ada di Indonesia.
--------------------------------------------------------------
Markas Besar Polisi Republik Indonesia (Mabes Polri)
3 Tahun setelah tragedi ‘Darah Besi’
08.00 WIB
Seorang pria berumur sekitar 26 tahun telah berdiri didepan gerbang Mabes Polri. Dia mengenakan pakaian formal khas kepolisian dan menyandang tas ransel yang cukup besar. Dia terus memandang gedung Mabes Polri yang besar di kejauhan dan selembar kertas yang dia genggam saat ini. Dikertas tersebut tertulis:
Surat No. : 112/2XXX/AkPol/001.03.104XXX
Perihal : Surat Tugas
Dengan ini, kami menyatakan kepada Saudara:
Nama : Satria Cahya Dharmawan
Umur : 26 Tahun
No. AkPol : 0230000472XX
Telah menerima pendidikan serta pelatihan dari Akademi Kepolisian dengan nilai Sangat Baik. Maka dari itu, kami menugaskan Saudara di Markas Besar Polisi Republik Indonesia (MABES POLRI) dan menjadi anggota Detasemen Khusus (Densus) 00. Penugasan anda akan dimulai pada hari Senin tanggal 11 bulan 06 tahun 2XXX.
Demikian Surat Penugasan ini kami buat. Atas perhatiannya, kami ucapkan terima kasih.
TTD
Jendral Besar MABES POLRI
n.b: mohon untuk membawa surat ini saat anda memasuki Markas.
Satria terus memperhatikan tulisan ’Detasemen Khusus (Densus) 00’ dalam surat tersebut.
“Kenapa aku tidak masuk ke Densus 88? Padahal aku termasuk yang terbaik di AkPol. Lagipula memang ada Densus 00 itu? Rasanya tak pernah dengar?” katanya.
Satria lalu berjalan memasuki Mabes Polri. Dia sempat dihadang oleh polisi yang berjaga di gerbang. Namun saat dia menyatakan maksud kedatangannya disertai dengan menunjukkan surat tugasnya, dia diizinkan masuk.
Halaman depan Mabes Polri sangatlah luas. Memanjang dari kiri ke kanan. Mungkin seluas lapangan sepak bola. Satria berjalan dengan cepat. Dia sempat melewati beberapa polisi lainnya. Dia juga melihat beberapa pria yang menggunakan seragam sepertinya menaiki tangga yang lebar dan memasuki Markas.
“Pasti mereka dari AkPol. Sama sepertiku.” Kata Satria dalam hati.
Satria pun mulai menaiki tangga tersebut dan memasuki Markas.
Lobby Mabes Polri sangat besar. Di depannya terdapat meja resepsionis. Dan seseorang pemuda dengan seragam AkPol sedang berbicara dengan petugas wanita disana.
“Ruangan Densus 88 ada disebelah kanan dari lorong ini. Silakan.” Kata petugas wanita tersebut.
“Terima kasih” kata pemuda itu.
Dia langsung mengikuti petunjuk dari petugas wanita tadi dan memasuki lorong disebelah kanan dan berbelok ke kiri. Satria terus memperhatikan pemuda tadi hingga dia hilang dari penglihatannya.
“Enaknya bisa jadi anggota Densus 88” katanya dalam hati.
Petugas wanita tadi berdehem dengan keras, menyadarkan Satria dari lamunannya. Satria pun mendekati meja tersebut.
“Selamat pagi dan Selamat datang di Mabes Polri. Ada yang bisa saya bantu?” tanya petugas wanita tersebut.
“Selamat pagi. Saya dari Akademi Kepolisian. Saya diberi tugas di Detasemen Khusus 00.” Kata Satria.
Petugas wanita itu terkejut. Dia melirik rekan disampingnya. Rekannya yang juga seorang wanita berdiri.
“Bisa saya lihat surat penugasannya?” tanya petugas tersebut.
Satria lalu mengeluarkan surat tugasnya dan menunjukkannya kepada petugas tersebut. Kedua petugas wanita itu membaca surat itu bersama. Mata mereka mengikuti setiap kata yang tertulis dalam surat. Setelah mereka selesai membaca, mereka bertatapan kembali.
“Baik. Silakan ikut saya.” Kata petugas kedua.
Satria lalu mengikuti petugas wanita tersebut. Tak lupa dia berterima kasih kepada petugas wanita yang satunya yang dibalas dengan senyuman kecil dan sebuah anggukkan.
Satria terus mengikuti dari belakang petugas wanita tadi. Mereka memasuki lorong yang berliku-liku. Sambil berjalan, Satria mencoba menarik sebuah informasi.
“Boleh saya bertanya?” tanya Satria.
“Silakan.” Kata petugas wanita tersebut.
“Saya tidak pernah mendengar Densus 00. Sebenarnya Densus 00 itu apa?”
“Apa yang anda tahu tentang Detasemen Khusus, saudara Satria?”
“Detasemen Khusus adalah Detasemen yang didirikan untuk melakukan pencegahan dan penangkapan terhadap pelaku yang melakukan tidakan kejahatan khusus seperti Cyber Crime yang menjadi tanggung jawab Densus 44 atau Terorisme yang merupakan tanggung jawab Densus 88.” Kata Satria.
“Tepat. Di dalam Mabes Polri terdapat 9 Detasemen Khusus mulai dari Densus 11 hingga 99. Densus paling besar diantara mereka adalah Densus 88.” Kata petugas tersebut.
“Namun, kesembilan Densus tersebut tidak akan ada apa-apanya tanpa Densus 00.” Kata petugas tersebut.
“Kenapa??” tanya Satria. Terkejut.
“Seperti yang anda jelaskan sebelumnya bahwa Densus didirikan untuk melakukan pencegahan dan penangkapan terhadap pelaku yang melakukan tindak kejahatan khusus. Densus 00 berbeda. Densus 00 didirikan untuk menyuplai semua kebutuhan seluruh Densus. Mulai dari senjata, peralatan tempur, peralatan intai, desain kendaraan, hingga semua program yang ada di Mabes Polri dibuat oleh Densus 00.” Kata petugas tersebut.
Satria masih heran dengan tugas dari Densus 00. Mereka pun berbelok ke kiri dan petugas wanita itu berhenti.
“Kita sudah sampai.” Kata petugas tersebut.
Satria melihat logo Densus 00 di depan pintu kaca geser otomatis didepannya. Dia membaca tulisan pada logo tersebut. Detasemen Khusus 00 Research and Development. Satria pun terkejut.
“Disini?” tanya Satria.
“Benar” kata petugas wanita.
“Research and Development ?” tanya Satria.
“Iya. Mari masuk” kata petugas wanita itu.
Petugas tersebut menekan tombol yang berada dipintu kaca tersebut. Pintu pun bergeser terbuka dan mereka pun masuk. Ruangan depannya memiliki ukuran yang tidak terlalu luas namun tidak juga terlalu kecil. Warna putih mendominasi ruangan tersebut. Beberapa aksen besi dan kaca terdapat pada beberapa sudut ruangan.
“Pagi Nia, ada apa pagi-pagi datang ke sini?” tanya wanita yang berada di belakang meja resepsionis.
“Pagi Luna, aku mengantarkan Pak Satria yang akan bertugas di Detasemen ini.” Kata petugas wanita yang mengantarnya tadi.
“Selamat Datang di Detasemen Khusus 00, Pak Satria. Kami sudah menunggu kedatangan anda.” Kata Luna.
Satria hanya menggangguk saja.
“Tapi ngomong-ngomong Luna, kenapa Densus 00 membutuhkan seorang prajurit? Terbaik di AkPol lagi. Apa untuk menjaga data?” tanya Nia.
“Aku tidak tahu. Ini kebijakan Komandan. Kami hanya menjalankan tugas.” Kata Luna.
“Baiklah kalau begitu.” Kata Nia dengan lesu.
“Selamat bertugas Pak Satria.” Kata Nia kepada Satria saat keluar dari ruangan.
“Terima kasih sudah mengantar saya.” Kata Satria.
Luna lalu keluar dari mejanya dan mendekati pintu yang berada di kirinya. Dia menggesekkan ID Card-nya dan memasukkan beberapa kombinasi angka ke alat pengenal di samping pintu. Pintu kemudian terbuka.
“Mari Pak Satria. Kita bertemu dulu dengan Komandan.” Kata Luna.
“Baiklah.” Kata Satria.
Satria lalu ikut berjalan melewati pintu. Mereka berdua menghilang saat pintu tertutup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar